Member Of My Bloger

Search Google

Sponsor

Live Traffic

Kampung Dayak Dengan Tenaga Mikro Hidro

Matahari baru beranjak dari peraduannya, suara burung berkicau seolah bernyanyi dengan riangnya, suasana pagi itu seakan menyatu dengan hiruk pikuk masyarakat di Kampung Ansok, Desa Benua Kencana, Kecamatan Tempunak di Kabupaten Sintang.

Di kampung yang dihuni oleh sekitar 80 Kepala Keluarga ini lahir sebuah ide untuk membuat air menjadi api. Mereka menyebutnya Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro.

Masyarakat Ansok sudah terlalu lama menunggu pemerintah mengadakan penerangan listrik untuk kampung yang berjarak sekitar 60 Km dari Kota Kabupaten Sintang. Masyarakat ingin menikmati terangnya listrik di malam hari. Dengan melihat keinginan masyarakat yang sangat tinggi, Antong (33 tahun) salah satu pemuda di kampung itu, mengadakan pertemuan dengan masyarakat lainnya.

Dalam pertemuan ini muncul satu kesepakatan bersama untuk membangun PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) dengan kondisi apa adanya “dalam pertemuan itu juga saya dipercaya kawan-kawan sebagai pendamping dalam pembangunan PLTMH tersebut “ Jelas Antong yang biasa dipanggil Apai Riska ini.

Untuk membangun PLTMH tentunya mereka memerlukan sejumlah dana yang cukup besar. Setelah mereka mendiskusikan secara matang, mereka pun meminta bantuan kepada CU Keling Kumang (CUKK) supaya dapat mewujudkan keinginan membangun PLTMH, karena masyarakat Kampung Ansok tidak kurang dari 80% adalah anggota CUKK

“Sebelum mendapat pinjaman dari CUKK, kami mengundang mengundang seorang konsultan PLTMH dari Bandung. Konsultan tersebut melakukan survei dan analisis kelayakan di lapangan, dan memastikan apakah PLTMH tersebut bisa berjalan sesuai keinginan atau tidak. Menurut hasil survei, dipastikan PLTMH ini bisa berjalan. Dan akhirnya pembangkit itu dibangun dengan menghabiskan biaya Rp.231 juta yang sebagian besar bersumber dari CUKK,” jelas Antong sambil menyapu keringat setelah 15 menit berjalan ke lokasi PLTMH bersama Drs Milton Crosby, Msi, Bupati Sintang dan Yohanes RJ, GM CUKK saat peresmian.

Dalam kata Sambutannya, Apai Riska selaku ketua Pembangunan PLTMH menjelaskan, pembangunan PLTMH ini bermodalkan kemauan yang kuat dari masyarakat. “Sebelum listrik ini menyala saya pernah diolok oleh seseorang bahwa saya tidak bisa melihat air mengalir, air kencing mengalir saja bisa jadi listrik. Ini menjadi cambuk bagi saya bersama seluruh anggota kelompok PLTMH ini. Ini murni swadaya masyarakat tanpa bantuan sepeser pun dari Pemda. Kalau ada pribadi yang ingin menyumbang kami mengucapkan banyak terima kasih.

Kami sudah terlalu lama menunggu bantuan dari pemerintah. Setiap ada pemilihan kepala daerah selalu ada janji bahwa listrik akan masuk atau jalan akan mulus. Tapi setelah 64 tahun Indonesia Merdeka hal ini juga tidak kunjung datang. Yang benar ternyata kami harus memerdekakan diri kami sendiri dari kegelapan dengan mengubah air yang mengalir ini menjadi api,”katanya dengan nada tinggi sambil memandang Bapak Milton, Bupati Sintang yang duduk tepat di depannya.


Mengakhiri kata sambutannya Apai Riska mengucapkan banyak terima kasih kepada CUKK yang telah membantu masyarakat dengan pinjaman bunga rendah “Pinjaman ini benar-benar telah membantu kami sekampung. Tanpa pinjaman sosial dari CUKK tidak mungkin listrik ini mengalir” kata Apai Riska sebelum mengakhiri kata sambutan dalam peresmian PLTMH tersebut

Menurut Adryanus Somek, Kepala Urusan Kredit CUKK, produk pinjaman sosial merupakan pinjaman khusus yang diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat. Pinjaman ini bunganya sangat rendah yaitu 1,5% menurun. “Ini merupakan salah satu komitmen CUKK dalam membantu anggotanya,” tambah Somek yang biasa dipanggil Apak Piau ini sambil tersenyum

Dalam kesempatan yang sama, Yohanes RJ, General Manager CUKK menjelaskan, “Pinjaman sosial untuk PLTMH ini memang berguna sekali. Paling tidak ada tiga manfaat langsung. Pertama, dengan PLTMH masyarakat bisa berhemat sekitar Rp 400 ribu/bulan. Karena biaya untuk menghidupkan mesin dompeng per bulan untuk setiap keluarga tidak kurang dari Rp 600 ribu. Dengan adanya PLTMH satu keluarga hanya mengangsur Rp 200 ribu/bulan. Apabila angsuran sudah lunas maka setiap KK tidak memiliki beban lagi kecuali beban pemeliharaan PLTMH.”

Kedua, dengan adanya PLTMH mau tidak mau masyarakat harus menjaga hutan di hulu sungai. Apabila hutan di hulunya dibabat atau diserahkan untuk menjadi kebun sawit maka sungai akan kering. Apabila sungai kering maka tidak mungkin listrik bisa menyala. Oleh karena itu masyarakat harus menjaga hutan. Ketiga, dengan PLTMH masyarakat berhasil menciptakan energi alternatif. Dengan energi alternatif ini berarti masyarakat Ansok telah berkontribusi kepada negara berupa penghematan energi di tengah-tengah krisis energi dunia


“Oleh karena itu jagalah hutan, jagalah PLTMH ini atau saya lebih suka menyebutnya sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Manusia yang Hidup agar kita tetap bisa menikmati listrik ini. Selamat kepada masyarakat Ansok. Semoga dapat menjadi contoh bagi kelompok masyarakat atau anggota CUKK di wilayah lain yang belum menikmati listrik negara 24 jam” terang Yohanes berapi-api saat mengakhiri kata sambutannya dalam peresmian PLTMH tersebut.
11.36 | 4 komentar | Read More

Arti Warna Mani-Manik Suku Dayak

Untuk memahami maksud dan arti warna batu pada manik-manik Dayak sebenarnya tergantung warna manik itu sendiri, manik-manik yang dihadirkan dalam setiap upacara tradisional Suku Dayak umumnya berwarna merah, hijau, kuning, biru dan putih. Setiap warna memiliki arti dan keistimewaan berbeda-beda, sebab itulah dalam masyarakat Dayak, jika warna manik batu merah maka ini merupakan simbol makna semangat hidup, jika manik batu warna biru memiliki makna sumber kekuatan dari segala penjuru yang tidak mudah luntur, jika warna kuning maka makna simbolisasi manik batu ini menggambarkan keagungan dan keramat, kemudian jika warna sebuah manik batu adalah hijau ini memiliki makna kelengkapan dan intisari alam semesta, sedangkan jika warna manik batu adalah putih maka ia simbolisasi sebuah makna gambaran lambang kesucian iman seseorang kepada sang pencipta.

Selain makna warna manik batu Suku Dayak tersebut yang berbeda, untuk manik-manik jenis batu, bahan asal yang digunakan biasanya adalah kornelin, batuan hablur, oniks, akik bergaris, kalsedon maupun kecubung. Dalam pandangan masyarakat Suku Dayak, manik batu yang terbuat dari bahan batu kecubung maupun akik dipercaya memiliki keistimewaan magis didalamnya.

Pada bagian butiran manik akik yang mempunyai gambar palang tapak jalak misalnya, dipercaya akan menjamin pemakainya selamat sampai ke tujuan setiap melakukan perjalanan jauh sehingga sangat cocok dijadikan cinderamata. Sedangkan pada manik batu akik dengan gambar garis merah dan putih (sardoniks) dipercaya dapat membuat si pemakai manik batu tersebut kebal terhadap peluru.

Secara umum, pemakaian manik-manik batu berbahan batu akik juga dapat menyembuhkan orang sakit serta membawa keberhasilan panen bagi para petani. Demikian halnya dengan penggunaan manik batu berbahan batu kecubung, benda ini juga dipercaya dapat membantu penyembuhan penyakit, penawar racun akibat serangan hewan berbisa serta luka bakar bagi pemakainya.

Kini, manik-manik jenis batu olahan inilah yang sangat diminati oleh masyarakat luas sebagai cinderamata, namun alangkah indahnya serta bermanfaat lagi apabila anda memahami makna warna manik batu Suku Dayak tersebut sebelum memutuskan untuk membeli, agar keistimewaan dari masing-masing warna dapat anda sesuaikan dengan kebutuhan.
11.20 | 2 komentar | Read More

Upacara Adat Manyanggar

Istilah Manyanggar berasal dari kata "Sangga". Artinya adalah batasan atau rambu-rambu. Upacara Manyanggar Suku Dayak kemudian diartikan sebagai ritual yang dilakukan oleh manusia untuk membuat batas-batas berbagai aspek kehidupan dengan makhluk gaib yang tidak terlihat secara kasat mata.
Ritual Dayak bernama Manyanggar ini ditradisikan oleh masyarakat Dayak karena mereka percaya bahwa dalam hidup di dunia, selain manusia juga hidup makhluk halus. Perlunya membuat rambu-rambu atau tapal batas dengan roh halus tersebut diharapkan agar keduanya tidak saling mengganggu alam kehidupan masing-masing serta sebagai ungkapan penghormatan terhadap batasan kehidupan makluk lain. Ritual Manyanggar biasanya digelar saat manusia ingin membuka lahan baru untuk pertanian, mendirikan bangunan untuk tempat tinggal atau sebelum dilangsungkannya kegiatan masyarakat dalam skala besar.

Melalui Upacara Ritual Manyanggar, apabila lokasi yang akan digunakan oleh manusia dihuni oleh makhluk halus (gaib) supaya bisa berpindah ke tempat lain secara damai sehingga tidak mengganggu manusia nantinya.
11.12 | 2 komentar | Read More

Perlengkapan Bersalin Suku Dayak

Menjelang persalinan membutuhkan beberapa perlengkapan khusus, demikian pula bagi Suku Dayak ada beberapa perlengkapan suku dayak menjelang persalinan atau proses melahirkan yang harus dipersiapkan sedemikian rupa untuk menggelar beberapa ritual atau upacara adat suku Dayak dalam menjelang dan menyambut kelahiran seorang bayi. 

Fase Melahirkan dalam budaya Suku Dayak mengisyaratkan perlunya sejumlah persiapan termasuk persiapan perlengkapan suku dayak menjelang persalinan. Pada proses jelang melahirkan bayi atau Awau, sang calon ibu dibaringkan pada sebuah dipan kecil dengan posisi miring terbuat dari kayu yang disebut Sangguhan dengan motif ukiran Dayak di masing-masing sisi.

Kemudian saat melahirkan, disiapkan pula Botol Mau sebagai tempat untuk menungku perut ibu agar darah kotor cepat keluar. Selain sebagai perlengkapan suku dayak menjelang persalinan Botol Mau ini juga digunakan untuk menyiman air panas.

Selanjutnya, keluarga yang melahirkan juga perlu menyiapkan Kain Bahalai (Jarik dalam bahasa Jawa) dengan lapisan yang berbeda. Tujuh lapis kain bahalai saat menyambut bayi laki-laki dan lima lapis kain bahalai untuk bayi dengan jenis kelamin perempuan. Walaupun sebagai peralatan penunjang, keberadaannya dalam persiapan prosesi persalinan menurut budaya Suku Dayak mutlak diperlukan.

Pada fase ketika bayi telah lahir, maka tali pusar atau ari-ari bayi dipotong menggunakan sebuah sembilu. Untuk tahap pertama dan pemotongan terakhir ari-ari dengan uang ringgit. Kedua perlengkapan suku dayak menjelang persalinan tersebut disiapkan sejak awal dalam sebuah piring atau Paraten. Sedangkan ari-ari yang terpotong tadi disimpan di dalam Kusak Tabuni.

Bayi (awau) yang baru lahir dimandikan dalam Kandarah, dan popok bayi yang digunakan disimpan dalam Saok. Bagi sang ibu setelah melahirkan biasa menggunakan Stagen (Babat Kuningan) untuk mengikat perut agar mengembalikan perut ibu ke kondisi semula dengan cepat. Tentunya untuk menjaga tubuh ibu setelah melahirkan dan juga berfungsi untuk berjaga-jaga dalam kondisi yang tidak terduga seperti sulitnya bayi keluar, masyarakat Dayak memiliki cara yang khas dan bernuansa magis, yakni menggunakan buah kelapa yang bertunas untuk kemudian disentuhkan ke arah selaput bayi. Tujuan perlengkapan suku dayak menjelang persalinan tersebut adalah agar dapat membuka ruang sehingga bayi dapat keluar dengan mudah.

Sumber : Dayakpos.com, dll
23.32 | 1 komentar | Read More

Dayak Mentuka Kalimantan Barat

Suku Dayak Mentuka Kalbar merupakan nama Suku Dayak yang hidup di sekitar kawasan Sungai Mentuka Kalimantan Barat yang berjarak sekitar 450 kilometer dari Ibukota Kalimantan Barat (Kalbar) yakni Kota Pontianak. Selain dari Pontianak, sebenarnya Sungai Mentuka sendiri dapat dijangkau dengan mudah melalui jalur transportasi darat jika kita berada di Matan Nanga Taman yakni sebuah Kecamatan di Kabupaten Sekadau, Provinsi Kalimantan Barat, konon karena suku Dayak ini merupakan Suku Dayak di Sungai Mentuka maka nama Sungai Mentuka menjadi dasar penamaan Suku Dayak sama seperti Suku Dayak di Kalimantan Tengah, seperti Dayak Kahayan yang mendiami sepanjang Sungai Kahayan, Dayak Barito, Dayak Kapuas, dan sebagainya.

Sebagai satu dari sekian banyak Suku Dayak di Kalimantan Barat, Suku Mentuka sebenarnya memiliki kesamaan dengan suku-suku Dayak lainnya yakni memiliki kekayaan khasanah budaya, bahasa sejarah, serta tradisi dan ritual tersendiri seperti layaknya Suku Dayak lainnya yang mendiami Pulau Kalimantan.

Dari aspek Bahasa yang digunakan maka Bahasa Suku Dayak Mentuka disebut "Bahasa Mentuka" atau "Bahasa Ntuka", kata Ntuka diambil lebih kepada pengucapan dari Mentuka itu sendiri. Bahasa Mentuka atau Bahasa Ntuka yang digunakan oleh Suku Dayak Mentuka ini jika diperhatikan memiliki kemiripan dengan beberapa jenis kosakata Bahasa Dayak yang ada di sekitar kawasan Kabupaten Sanggau, Kalbar khususnya pada bagian utara Kabupaten Sanggau.

Ada hal unik lain dari Suku ini yakni mereka menyakini adanya hubungan suku Dayak Mentuka dengan Kerajaan Majapahit, semua ini didasari sejumlah peninggalan sejarah berupa benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Majapahit, benda-benda pusaka seperti keris, tanah sekapal, piring dan sebagainya inilah yang dijadikan dasar Suku Dayak Mentuka untuk meyakini bahwa mereka memiliki hubungan erat dengan silsilah Majapahit sebagai sebuah kerajaan yang pernah mengalami masa keemasan di Nusantara. Benda-benda pusaka Suku Dayak Mentuka sebagai warisan Kerajaan Majapahit tersebut masih dapat ditemui di beberapa kampung seperti "Kampung Patok".

Interaksi budaya yang berlangsung diwariskan secara turun temurun untuk menjadi tradisi yang kuat dalam kehidupan sehari-hari Suku Dayak Mentuka seperti tradisi lisan dan tradisi berladang yang ada pada Suku  Dayak Kalbar lain seperti Dayak Kayan maupun Dayak Kanaytn yang mengingatkan bahwa semua manusia  di bumi harus senantiasa selalu berusaha bermurah hati baik kepada suku lain ataupun sesamanya.
23.19 | 4 komentar | Read More

Panglima Burung

Dalam masyarakat Dayak, dipercaya ada ada suatu makhluk yang disebut-sebut sangat agung, sakti, ksatria, dan berwibawa. Sosok tersebut konon menghuni gunung di pedalaman Kalimantan, bersinggungan dengan alam gaib. Pemimpin spiritual, panglima perang, guru, dan tetua yang diagungkan. Ialah panglima perang Dayak, Panglima Burung, yang disebut Pangkalima oleh orang Dayak pedalaman.

Ada banyak sekali versi cerita mengenai sosok ini, terutama setelah namanya mencuat saat kerusuhan Sambas dan Sampit. Ada yang menyebutkan ia telah hidup selama beratus-ratus tahun dan tinggal di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ada pula kabar tentang Panglima Burung yang berwujud gaib dan bisa berbentuk laki-laki atau perempuan tergantung situasi. Juga mengenai sosok Panglima Burung yang merupakan tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada, namun dapat rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu ritual. Hingga cerita yang menyebutkan ia adalah penjelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan.

Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Panglima Burung, entah di Tarakan, Sampit, atau pun Pontianak. Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah satunya adalah benar-benar Panglima Burung yang sejati.

Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Penglima Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.

Lalu bagaimanakah seorang Panglima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.

Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Penglima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang. Riuh rendah tak berubah menjadi ketegangan di ruang yang lingkup--yang oleh orang Dayak Ngaju disebut Danum Kaharingan Belum.

Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka.
Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.

Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu? Ada satu perkara Panglima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya itu habis. Panglima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika sudah kesabarannya sudah habis.

Panglima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual--yang di Kalimankan Barat dinamakan Mangkuk Merah--dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau--memenggal dan membawa kepala musuh. Inilah yang terjadi di kota Sampit beberapa tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.

Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah--agama manapun--dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.

Kemisteriusan memang sangat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas dan kejam pun masih melekat. Memang tidak semuanya baik, karena ada banyak juga kekurangannya dan kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yang apapun bentuk dan alasannya--entah itu balas dendam, ekonomi, kesenjangan sosial, dan lain-lain--tetap saja tidak dapat dibenarkan. Mata dibalas mata hanya akan berujung pada kebutaan bagi semuanya. Terlepas dari segala macam legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh tersebut, Panglima Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati orang Dayak.
23.10 | 1 komentar | Read More

Tas Tradisional Suku Dayak (SULEP)

Sulep. Sejak dahulu kala, masyarakat suku dayak di Kalimantan Tengah terbiasa meletakkan sesuatu sesuai tempat yang seharusnya. Kebiasaan tersebut berlaku untuk hal-hal yang bersifat konkret maupun abstrak seperti hal yang berhubungan dengan penguasa alam semesta.

Untuk penempatan sesuatu yang bersifat konkret, masyarakat Suku Dayak menciptakan berbagai bentuk benda yang bisa digunakan sebagai wadah penyimpanan termasuk juga tas tradisional Suku Dayak. Di rumah tangga misalnya, Suku Dayak mengenal “Sulep” yaitu "Tas Tradisional Suku Dayak" Kalteng yang dibuat dengan keterampilan tangan sebagai alat untuk menyimpan surat-surat berharga, perhiasan, tembakau hingga obat-obatan tradisional.

Dalam bahasa Dayak Ngaju, Sulep berarti tas yang terbuat dari kayu maupun bambu. Sulep dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai tabung dengan penutup pada bagian atas dan bawah. Pada bagian permukaan sulep dihias dengan pelapis berupa anyaman rotan warna cokelat dan hitam sehingga membentuk motif sulur-suluran.

Pada bagian penutup Sulep disimpul dengan ikatan rotan yang dapat dibuka dan ditutup kembali guna mengamankan benda di dalamnya. Sedangkan pada bagian badan dan penutup bawah Sulep dipasang tali panjang sebagai tempat gantungan sehingga Sulep mudah dibawa layaknya tas gendong.

Ukuran panjang rata-rata Sulep umumnya dibuat sekitar 10 cm atau lebih sementara diameter Sulep berkisar antara 8 cm.

Dewasa ini, Sulep sudah semakin jarang digunakan. Masyarakat telah beralih ke penggunaan tas hasil produksi pabrik-pabrik modern karena lebih praktis untuk dipakai. Kendati demikian, keberadaan Sulep masih banyak ditemukan di rumah-rumah warga sebagai benda berharga peninggalan keluarga dari masa ke masa.
Sumber : dayakpos.com, betang,com
22.57 | 2 komentar | Read More

Tari Mandau Dayak

Tari Mandau adalah salah satu dari berbagai jenisa tari suku Dayak. Di lihat dari namanya sudah tentu tarian ini menggunakan salah satu senjata khas suku Dayak yaitu Mandau (sejenis parang) dan Talawang (perisai). Tari Mandau juga di bagi menjadi bermacam-macam jenis sesuai dengan daerah dan sub suku Dayak tersebut. Disini kami ingin mengambarkan Tari Mandau secara umum. 

Menurut suku Dayak sendiri, Tari Mandau simbolik dari semangat juang masyarakat suku Dayak dalam membela harkat dan martabatnya. Selain itu juga Tari Mandau melambangkan keperkasaan pria Suku Dayak dalam menghadapi segala macam tantangan dalam aspek kehidupan. Di samping tiu juga tarian ini mngambarkan bagaiaman suku Dayak mempertahankan tanah kelahirannya atau daerah kekuasaan.

Dalam setiap pertunjukan atau persembahan Tari Mandau diringi alunan suara kemerduan Gandang dan Garantung bertalu kencang. Harmonisasi perangkat musik tradisional tersebut memunculkan irama penuh semangat, seolah mengajak mereka yang mendengar dan menyaksikan persembahan Tari Mandau semakin bersemangat layaknya pejuang Suku Dayak yang siap terjun ke medan juang.

22.43 | 1 komentar | Read More

Pelantikan Temenggung Tempunak Hulu

Sintang-KOTA, (kalimantan-news) - Setelah tertunda sekian lama, akhirnya Temenggung dan Tungkat Temenggung Tempunak Hulu dikukuhkan sekaligus dilantik oleh Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Sintang. Pelantikan terhadap Temenggung Ambrosius Lukas Bandar bergelar Temenggung Paku Jaya dan Tungkat Temenggung Matias Gunsi (01/07/2010) ini, dihadiri oleh para Kepala Desa, Perangkat Desa dan tokoh masyarakat dalam lingkup Ketemenggungan Tempunak Hulu, yaitu; Riam Batu; Benua Kencana; Gurung Mali; Merti Jaya; Jaya Mentari; dan Sungai Buluh.
Dibarisan undangan, Nampak hadir pejabat yang mawakili Bupati Sintang, Ir. Arbudin, M.Si; pejabat yang mewakili Camat Tempunak, Kiyang; Ketua DAD Kecamatan Tempunak, K. Daniel. B; Temenggung Tempunak Hilir, Jihin; serta para Kades dan tokoh masyarakat dari wilayah Ketemenggungan Tempunak Tengah. Sementara itu, DAD Kabupaten Sintang diwakili oleh F. Kincong, SH dan Yelmanus, SE. Pelantikan ini sempat disaksikan juga oleh Anggota DPD/MPR RI dari Dapil Kalimantan Barat, Maria Goreti, S.Sos,M.Si.

Acara ini juga terbilang yang paling lengkap, karena semua prosesi adat dilaksanakan dengan lengkap, seperti Sait, Patah Ricik, Bekibau dan pemberian Jenang (gelar, Red) kepada Temenggung yang dilantik. Dan yang membuat acara ini menjadi kolosal, karena bersamaan dengan pembukaan hari Gawai Dayak di Merti Jaya.

Arbudin dalam sambutannya mengatakan, bahwa acara pelantikan Temenggung ini, merupakan bagian dari upaya kita dalam melestarikan adat-istiadat dan budaya Dayak Seberuang yang sangat spesifik ini. Berbagai upaya untuk mempertahankan eksistensi Masyarakat Adat Dayak, dapat dilakukan dengan menggali dan menghidupkan kembali tahapan-tahapan yang sebetulnya wajib untuk dilakukan dalam menggelar sebuah upacara besar, seperti ritual Patah Ricik, misalnya. Hidupnya kembali budaya nenek moyang, akan menghidupkan kembali rasa kebersamaan dan kekerabatan masyarakatnya, ujar Arbudin.


Kepada kalimantan-news Arbudin juga menerangkan, menurutnya, dimasa lalu, jika ada 1 keluarga bermaksud akan menyelenggarakan Gawai Keluarga, terlebih dahulu akan diberitahukan kepada beberapa keluarga lainnya. Jika didapati ada beberapa keluarga lain mempunyai hajat yang sama, maka Gawai ini akan dilakukan berbarengan. Sehingga acaranya seperti dirayakan oleh orang sekampung. Rasa kebersamaan inilah, yang harus dipupuk kembali.

Ditempat yang sama, Ketua. I DAD Kabupaten Sintang, F. Kincong, menjelaskan bahwa masa jabatan Temenggung dan Tungkat Temenggung, adalah 10 Tahun. ketika ditanya mengenai adanya anggapan, bahwa momen ini akan digunakan untuk konsolidasi masyarakat, sehubungan dengan ketidak puasan terhadap Amar Putusan Mahkamah Agung dalam sengketa Pemilu-Kada, dengan tegas Kincong menyangkal anggapan tersebut.

Dikatakannya, bahwa acara ini justru telah tertunda-tunda sekian lama, karena adanya Pemilu-Kada Sintang. Dan mengenai hadirnya sedemikian banyak warga masyarakat dari luar wilayah Ketemenggungan Tempunak Hulu, menurutnya mungkin karena acara ini termasuk pesta besar, karena bersamaan dengan hari pembukaan Gawai Dayak Desa Merti Jaya, pungkasnya. (PHS)
10.54 | 2 komentar | Read More

Legenda Bukit Kelam Kabupaten Sintang

Alkisah, di Negeri Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah dua orang pemimpin dari keturunan dewa yang memiliki kesaktian tinggi, namun keduanya memiliki sifat yang berbeda. Yang pertama bernama Sebeji atau dikenal dengan Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka merusak, pendengki dan serakah. Tidak seorang pun yang boleh memiliki ilmu, apalagi melebihi kesaktiannya. Oleh karena itu, ia kurang disukai oleh masyarakat sekitar, sehingga sedikit pengikutnya. Sementara seorang lainnya bernama Temenggung Marubai. Sifatnya justru kebalikan dari sifat Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka menolong, berhati mulia, dan rendah hati. Kedua pemimpin tersebut bermata pencaharian utama menangkap ikan, di samping juga berladang dan berkebun.

Bujang Beji beserta pengikutnya menguasai sungai di Simpang Kapuas, sedangkan Temenggung Marubai menguasai sungai di Simpang Melawi. Ikan di sungai Simpang Melawi beraneka ragam jenis dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan sungai di Simpang Kapuas. Tidak heran jika setiap hari Temenggung Marubai selalu mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan Bujang Beji.

Temenggung Marubai menangkap ikan di sungai Simpang Melawi dengan menggunakan bubu (perangkap ikan) raksasa dari batang bambu dan menutup sebagian arus sungai dengan batu-batu, sehingga dengan mudah ikan-ikan terperangkap masuk ke dalam bubunya. Ikan-ikan tersebut kemudian dipilihnya, hanya ikan besar saja yang diambil, sedangkan ikan-ikan yang masih kecil dilepaskannya kembali ke dalam sungai sampai ikan tersebut menjadi besar untuk ditangkap kembali. Dengan cara demikian, ikan-ikan di sungai di Simpang Melawi tidak akan pernah habis dan terus berkembang biak.

Mengetahui hal tersebut, Bujang Beji pun menjadi iri hati terhadap Temenggung Marubai. Oleh karena tidak mau kalah, Bujang Beji pun pergi menangkap ikan di sungai di Simpang Kapuas dengan cara menuba[2]. Dengan cara itu, ia pun mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Pada awalnya, ikan yang diperoleh Bujang Beji dapat melebihi hasil tangkapan Temenggung Marubai. Namun, ia tidak menyadari bahwa menangkap ikan dengan cara menuba lambat laun akan memusnahkan ikan di sungai Simpang Kapuas, karena tidak hanya ikan besar saja yang tertangkap, tetapi ikan kecil juga ikut mati. Akibatnya, semakin hari hasil tangkapannya pun semakin sedikit, sedangkan Temenggung Marubai tetap memperoleh hasil tangkapan yang melimpah. Hal itu membuat Bujang Beji semakin dengki dan iri hati kepada Temenggung Marubai.

”Wah, gawat jika keadaan ini terus dibiarkan!” gumam Bujang Beji dengan geram.

Sejenak ia merenung untuk mencari cara agar ikan-ikan yang ada di kawasan Sungai Melawi habis. Setelah beberapa lama berpikir, ia pun menemukan sebuah cara yang paling baik, yakni menutup aliran Sungai Melawi dengan batu besar pada hulu Sungai Melawi. Dengan demikian, Sungai Melawi akan terbendung dan ikan-ikan akan menetap di hulu sungai.

Setelah memikirkan masak-masak, Bujang Beji pun memutuskan untuk mengangkat puncak Bukit Batu di Nanga Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Dengan kesaktiannya yang tinggi, ia pun memikul puncak Bukit Batu yang besar itu. Oleh karena jarak antara Bukit Batu dengan hulu Sungai Melawi cukup jauh, ia mengikat puncak bukit itu dengan tujuh lembar daun ilalang.

Di tengah perjalanan menuju hulu Sungai Melawi, tiba-tiba Bujang Beji mendengar suara perempuan sedang menertawakannya. Rupanya, tanpa disadari, dewi-dewi di Kayangan telah mengawasi tingkah lakunya. Saat akan sampai di persimpangan Kapuas-Melawi, ia menoleh ke atas. Namun, belum sempat melihat wajah dewi-dewi yang sedang menertawakannya, tiba-tiba kakinya menginjak duri yang beracun.

”Aduuuhhh... !” jerit Bujang Beji sambil berjingkrat-jingkrat menahan rasa sakit.

Seketika itu pula tujuh lembar daun ilalang yang digunakan untuk mengikat puncak bukit terputus. Akibatnya, puncak bukit batu terjatuh dan tenggelam di sebuah rantau yang disebut Jetak. Dengan geram, Bujang Beji segera menatap wajah dewi-dewi yang masih menertawakannya.

”Awas, kalian! Tunggu saja pembalasanku!” gertak Bujang Beji kepada dewi-dewi tersebut sambil menghentakkan kakinya yang terkena duri beracun ke salah satu bukit di sekitarnya.

”Enyahlah kau duri brengsek!” seru Bujang Beji dengan perasaan marah.

Setelah itu, ia segera mengangkat sebuah bukit yang bentuknya memanjang untuk digunakan mencongkel puncak Bukit Batu yang terbenam di rantau (Jetak) itu. Namun, Bukit Batu itu sudah melekat pada Jetak, sehingga bukit panjang yang digunakan mencongkel itu patah menjadi dua. Akhirnya, Bujang Beji gagal memindahkan puncak Bukit Batu dari Nanga Silat untuk menutup hulu Sungai Melawi. Ia sangat marah dan berniat untuk membalas dendam kepada dewi-dewi yang telah menertawakannya itu.

Bujang Beji kemudian menanam pohon kumpang mambu[3] yang akan digunakan sebagai jalan untuk mencapai Kayangan dan membinasakan para dewi yang telah menggagalkan rencananya itu. Dalam waktu beberapa hari, pohon itu tumbuh dengan subur dan tinggi menjulang ke angkasa. Puncaknya tidak tampak jika dipandang dengan mata kepala dari bawah.

Sebelum memanjat pohon kumpang mambu, Bujang Keji melakukan upacara sesajian adat yang disebut dengan Bedarak Begelak, yaitu memberikan makan kepada seluruh binatang dan roh jahat di sekitarnya agar tidak menghalangi niatnya dan berharap dapat membantunya sampai ke kayangan untuk membinasakan dewi-dewi tersebut.

Namun, dalam upacara tersebut ada beberapa binatang yang terlupakan oleh Bujang Beji, sehingga tidak dapat menikmati sesajiannya. Binatang itu adalah kawanan sampok (Rayap) dan beruang. Mereka sangat marah dan murka, karena merasa diremehkan oleh Bujang Beji. Mereka kemudian bermusyawarah untuk mufakat bagaimana cara menggagalkan niat Bujang Beji agar tidak mencapai kayangan.

”Apa yang harus kita lakukan, Raja Beruang?” tanya Raja Sampok kepada Raja Beruang dalam pertemuan itu.

”Kita robohkan pohon kumpang mambu itu,” jawab Raja Beruang.

”Bagaimana caranya?” tanya Raja Sampok penasaran.

”Kita beramai-ramai menggerogoti akar pohon itu ketika Bujang Beji sedang memanjatnya,” jelas Raja Beruang.

Seluruh peserta rapat, baik dari pihak sampok maupun beruang, setuju dengan pendapat Raja Beruang.

Keesokan harinya, ketika Bujang Beji memanjat pohon itu, mereka pun berdatangan menggerogoti akar pohon itu. Oleh karena jumlah mereka sangat banyak, pohon kumpang mambu yang besar dan tinggi itu pun mulai goyah. Pada saat Bujang Beji akan mencapai kayangan, tiba-tiba terdengar suara keras yang teramat dahsyat.

”Kretak... Kretak... Kretak... !!!”

Beberapa saat kemudian, pohon Kumpang Mambu setinggi langit itu pun roboh bersama dengan Bujang Beji.

”Tolooong... ! Tolooong.... !” terdengar suara Bujang Beji menjerit meminta tolong.

Pohon tinggi itu terhempas di hulu sungai Kapuas Hulu, tepatnya di Danau Luar dan Danau Belidak. Bujang Beji yang ikut terhempas bersama pohon itu mati seketika. Maka gagallah usaha Bujang Beji membinasakan dewi-dewi di kayangan, sedangkan Temenggung Marubai terhindar dari bencana yang telah direncanakan oleh Bujang Beji.

Menurut cerita, tubuh Bujang Beji dibagi-bagi oleh masyarakat di sekitarnya untuk dijadikan jimat kesaktian. Sementara puncak bukit Nanga Silat yang terlepas dari pikulan Bujang Beji menjelma menjadi Bukit Kelam. Patahan bukit yang berbentuk panjang yang digunakan Bujang Beji untuk mencongkelnya menjelma menjadi Bukit Liut. Adapun bukit yang menjadi tempat pelampiasan Bujang Beji saat menginjak duri beracun, diberi nama Bukit Rentap.

Sumber : folktalesnusantara
17.45 | 0 komentar | Read More

Peradilan Adat; Keadilan yang Ternafikan

*Laurensius Gawing
"Jika rasa keadilan tidak lagi milik semua orang, dan ketika rasa keadilan terpasung dalam bingkai institusi peradilan negara yang harus dibayar mahal oleh rakyat, maka peradilan adat adalah pilihan tepat"

Minimnya informasi tentang peradilan adat dan upaya sistematis para pihak terutama negara untuk mengaburkan makna hakikinya, telah mengaburkan pengetahuan banyak orang tentangnya. Kini, cerita tentang peradilan adat adalah cerita lama yang terbungkus dalam bingkai usang sejarah negara ini. Kaburnya makna peradilan adat makin kentara khususnya bagi mereka yang tinggal di perkotaan dan tercerabut dari realitas peradilan adat yang sesungguhnya. Tetapi di beberapa wilayah – yakni komunitas-komunitas adat di berbagai kawasan Indonesia - riak pengadilan adat masih kental mewarnai kehidupan masyarakat.

Sebagai sebuah sistem hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat, peradilan adat mengemban peran penting bagi peradaban komunitas adat di Indonesia. Ia berfungsi sebagai pilar penjaga keseimbangan hubungan sosial dan kearifan lokal, misalnya, menjaga harmonisasi hubungan antara masyarakat dan alamnya. Dengan demikian ia bukan hanya pilar penyeimbang, tetapi juga entitas budaya masyarakat adat.

Pasang surut eksistensi Peradilan adat tidak terlepas dari kuatnya pengaruh positivisme hukum dalam cara pikir penyelenggara negara. Cara pikir ini sangat mengagungkan formalitas legal, dan dengan demikian memaklumkan tidak ada pengadilan lain, selain Peradilan negara. Akibatnya, peradilan adat yang ada sejak ratusan tahun lalu dihapus dari sistem hukum Indonesia. Padahal,Von Savigny (W. Friedmann 1967: 211) mengemukakan beberapa pendapat tentang hukum diantaranya: pertama, hukum ditemukan, bukan dibuat. Pertumbuhan hukum merupakan proses yang tidak disadari dan organis, akibatnya perundang-undangan kurang penting dibandingkan adat kebiasaan. Kedua, Undang-undang tidak berlaku atau tidak dapat diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan hukum kebiasaannya sendiri, karena mempunyai bahasa, adat istiadat dan konstitusi yang khas, sehingga Volkgeist (Jiwa Bangsa) akan terlihat dalam hukumnya.

Peradilan Adat Di Indonesia

Unifikasi sistem hukum Indonesia - yang ditujukan untuk mewujudkan kepastian hukum dan memudahkan penyelenggaraan hukum - seakan merupakan harga mati. Hal ini tampak di setiap nafas peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang tak memberi ruang gerak kepada peradilan adat untuk menunjukkan keadilan substantifnya.

Penyeragaman proses pembentukan, penerapan dan penegakan hukum makin berdiri angkuh dengan keadilan normatifnya seperti yang terpancar dari setiap Bab dan Pasal yang terkodifikasi rapi. Padahal, Sesungguhnya unifikasi hukum telah merenggut peradilan adat dari habitatnya, yaitu masyarakat adat. Sehingga di hampir semua komunitas adat Indonesia sistem asli masyarakat adat telah hancur.

Di Kalimantan Barat, misalnya, kepunahan peradilan adat telah mendekati titik nadir. Sistem pemerintahan asli pendukung peradilan adat seperti Kampokng di Kabupaten Sanggau, Banua di Ketapang, serta Menua di Dayak Iban dan Titing di Dayak Punan Uheng Kereho Kabupaten Kapuas Hulu telah hilang. Peraturan dan kebijakan anti peradilan adat secara pasti telah menghapuskan kuasa kepala adat dan temenggung. Penyeragaman hukum yang menjadi model pelaksanaan hukum di Indonesia ternyata menyebabkan tugas dan fungsi perangkat adat sebagai unsur sistem hukum adat telah digantikan oleh aparatus desa.

Pembelajaran Dari Kalimantan Barat

Walaupun keberadaannya terus diingkari, namun peradilan adat tetap menjadi pilihan utama masyarakat adat, terutama yang tak bisa mendapatkan akses ke pengadilan negara. Nun jauh di hulu Sungai Kapuas, Kecamatan Kedamin, Kalimantan Barat, masyarakat Dayak Punan Uheng Kereho tetap menggunakan sistem peradilan adatnya. Semboyan peradilan adat mereka – kenucu maram, kenucu te mulok (telunjuk busuk, telunjuk dipotong) - mencerminkan sikap tegas penegakan hukum adat di komunitas ini.

Dalam menjalankan sistem peradilan adat, berbagai komunitas sesungguhnya memiliki keyakinan dan nilai keadilan sesuai dimensi masing-masing. Misalnya, saat menjatuhkan sanksi, masyarakat adat Dayak Kanayatn di Kabupaten Landak dan Pontianak, mengacu pada prinsip kade’labih Jubata bera, kade’ Kurakng Antu bera (jika berlebihan Tuhan akan marah, jika kurang roh nenek moyang /hantu yang marah). Prinsip ini menyatakan penjatuhan sanksi adat harus didasarkan pada nilai-nilai keadilan dan keseimbangan.

Kemudian, bila ketua adat telah menjatuhkan sanksi, maka penjatuhan sanksi untuk perkara yang diyakini akan membawa dampak buruk bagi komunitas - misalnya kasus hamil diluar nikah (ngampakng) atau pembunuhan – akan diikuti oleh upacara perdamaian antara kedua pihak yang berperkara, masyarakat kampung dan alam sekitarnya atau Mua Tana dalam masyarakat Dayak Punan. Jadi penyelesaian sengketa dalam pengadilan adat tidak hanya memvonis benar-salah atau menang-kalah, tetapi juga mendamaikan para pihak, termasuk mendamaikan mereka dengan alam supaya kampung dan masyarakat tersebut bebas dari wabah penyakit, bencana alam dan hal-hal negatif lainnya.

Kearifan inilah yang menggugah 25 suku Dayak Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat secara bersama-sama mendokumentasikan proses peradilan adat di masing-masing sukunya pada pertengahan tahun 2005. Pendokumentasian itu kini berhasil mendata praktek-praktek dan nilai-nilai pengadilan adat seperti keadilan, keseimbangan dan kepastian hukum. Ke 25 suku Dayak tersebut meyakini peradilan adat - yang sampai sekarang diabaikan oleh pemerintah - sebenarnya merupakan sarana penyelesai sengketa yang cocok dengan situasi mereka.

Tujuan pendokumentasian ini adalah merenda kembali semangat dan nilai-nilai keadilan yang lahir dan hidup di kebudayaan asli mereka. Diharapkan mereka tetap bersemangat mempraktekkan pengadilan adat. Pendokumentasian ini juga membuktikan pada pihak lain, bahwa peradilan adat masih dipraktekkan di 25 Suku Dayak Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat.

Akui dan Hormati Peradilan Adat

Dalam Pasal 28 I Ayat (3) UUD 1945 disebutkan: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban. Pasal ini diperkuat oleh Pasal 6 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM: Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,masyarakat dan pemerintah. Jadi menurut kedua pasal tersebut pemerintah wajib mengakui, menghormati dan memajukan hukum adat dan pengadilan adat. Karena pengadilan adat merupakan manifestasi identitas budaya masyarakat adat, maka pengabaian, penyingkiran dan pemusnahannya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pengakuan dan penghormatan ini juga bermanfaat bagi banyak tempat yang tidak terjangkau oleh pengadilan negara.

Sampai kini banyak masyarakat, terutama yang tinggal di luar Pulau Jawa, menggunakan pengadilan adat, karena biayanya murah, tidak bertele-tele dan sesuai dengan situasi dan kondisi mereka. Seperti kata pepatah Dayak Iban: Bejalai Betungkat ke Adat Tinduk, Bepanggal ke Pengingat (berjalan bertongkatkan adat, tidur beralaskan sejarah), maka pengakuan, penghormatan dan pemajuan pengadilan adat sebagai bagian dari sistem hukum Indonesia merupakan langkah pasti menuju peran pengadilan dalam mewujudkan keadilan substantif.
* Researcher dan Pendamping Hukum Rakyat LBBT-Ptk
catatan :
tulisan ini pernah dimuat di majalah Forum Keadilan Sept 2006
Sumber: laurensgawing.multiply.com
17.26 | 0 komentar | Read More

Cerita Dara Juanti

Dara Juanti adalah seorang gadis Dayak yang cantik dijamannya. Kecantikannya membuat orang menjulukinya Dewi. Saudara laki-lakinya bernama Demong Nutup atau Jubair II.
Jubair II merantau ke pulau Jawa. Kepergiannya inilah yang menyebabkan kerajaan Sintang di pimpin oleh Dara Juanti, seorang wanita. Setelah lama kepergian sang kakak membuat Dara Juanti rindu ingin bertemu. Apa lagi selama merantau di Jawa Demong Nutup tidak pernah memberi berita kepada adiknya Dara Juanti. Dara Juanti pun berencana berlayar kepulau Jawa untuk menjenguk Saudaranya tersebut. Ia mengadakan perundingan dengan pasukannya tentang rencananya tersebut, dalam perundingan tersebut pasukan dipimpin langsung oleh Dara Juanti, dan Ia harus menyamar seperti seorang lelaki.

Entah bagaimana, berita keberangkatan Dara Juanti ke pulau Jawa terdengar oleh Damong Nutup. Tertawannya Damong Nutup (Jubair II) disinyalir oleh Dara Juanti. Konon setiap kapal pendatang, berlabuh di daerah Mojopahit, pasti menjadi makanan empuk Kerajaan Mojopahit. Setiap pendatang selalu menjadi tawanan Mojopahit. Mojopahit mempunyai cara licik, memasukan setiap pendatang kedalam perangkap tawanan. Ia selalu memerintahkan petugas khusus, meletakan kura-kura buatan dari emas. Seekor diletakan diburitan kapal dan seekor dihaluan. Kura-kura ini biasanya diletakan pada malam hari waktu orang-orang lagi tidur. Waktu pagi hari petugas Mojopahit pun melakukan pengeledahan kapal pendatang. Apabila ditemukan kura-kura dalam kapal pendatang, maka pendatang tersebut dituduh mencuri kura-kura kepunyaan raja Mojopahit. Bunyi canang/gong bertalu-talu memberi isyarat menangkap anak buah dan seluruh penumpang kapal pendatang.

Berita ini di olah matang-matang oleh Dara Juanti. Akhirnya ditemukan suatu kesimpulan apabila memasuk wilayah kekuasaan Mojopahit, Dara Juanti memerintahkan seluruh anak buahnya : “KALAU TELAH MALAM, SELURUH PENUMPANG HARUS BERJAGA-JAGA. BERPURA-PURA TIDUR. BILAMANA PETUGAS MOJOPAHIT MELETAKAN KURA-KURA EMASNYA, SEGERA BANGUN DAN MELEBUR KURA-KURA ITU”. Benar apa yang terjadi ketika memasuki pelabuhan Mojopahit petugas khusus meletakan kura-kura raja di dalam Kapal Dara Juanti. Pasukan Dara Juanti pun segera mengerjakan perintahnya. Kura-kura emas itu telah dilebur menjadi emas, alu emas, lesung emas, niru dan tikar emas. Keesokan paginya canang raja Mojopahit berbunyi, petugas mencari kura-kura emas. Mereka dating menuju kapal Dara Juanti. Mereka turun dengan berani dan menuduh tegas, bahwa tamu telah mencuri kura-kura emas, raja Mojopahit. Dara Juanti menegor : “Kalian harus memanggil raja Mojopahit, kita harus mengadakan perjanjian sebelum kamu mencari kura-kuramu itu”. Lalu raja diundang dating untuk mengadakan perjanjian.

Dara Juanti berkata: “Jika kamu tidak mendapat kura-kuramu itu, haruslah kamu melepaskan seluruh tawanan bagi kami”. Setelah menyetujui perjanjian lisan ini, mulailah petugas raja Mojopahit mencari dengan semangat. Dari segala penjuru dibongkar satu persatu, tak kunjung jua ditemukan kura-kura emasnya. Sampai putus asalah seluruh petugas. Tanpa komentar, raja Mojopahit memerintahkan melepaskan semua tawanannya. Domang Nutup (Jubair) pun ikut dilepaskan. Memang itulah tujuan utama Dara Juanti.

Domang Nutup (Jubair II) diundang masuk kejong Dara Juanti. Domang Nutup (Jubair II) tercengang melihat atau memandang muka Dara Juanti. Bukankah itu itu satu roman yang sangat popular baginya? Hanya ia tahu roman itu adalah roman wanita. Kenapa, ia berpakaian lelaki?. Pandangan tajam kearah Dara Juanti membuka tabir rahasia. “Aku inilah Dara Juanti adik mu” kata Dara Juanti kepada Domang Nutup (Jubair II). Pertemuan yang sangat mesra dan mengharukan tergoreslah dalam sejarah kedua kaka beradik yang telah lama terpisa tanpa berita.

Pertemuan mesra dan bersejarah ituturut disaksikan oleh seorang pemuda Mojopahit, bernama Patih Logender. Ia pun sangat terpesona dengan paras Dara Juanti sang Gadis Dayak tersebut. Raut muka, kembar dengan perlakuan manis, telah mengoncang rasa ingin mengenal lebih jauh Dara Juanti. Rombongan Dara Juantipun memperpanjang waktu, berfoya-foya, berpesta-pesta beramah tamah dengan penduduk Mojopahit. Gembira dengan lepasnya Domang Nutup (Jubair II) dari tawanan. Kesempatan yang agak lama, telah memberi peluang padat menjalin cinta antara pemuda Mojopahit dengan Dewi Kalimantan Barat tersebut.

Kembalinya rombongan Dara Juanti serselip dua orang penting bagi Dara Juanti. Patih Logender bersama abangnya Domang BNutup (Jubair II) turut menuju Kalimantan Barat, untuk mensyahkan pernikahannya menurut adapt Dayak. Pernikahan mudah disyahkan, dengan syarat, Patih Logender gharus membawa duabelas perinduk (keluarga) sebagai bukti antaran. Patih Logender telah mengusahakannya dan berhasil.

Kedua belas perinduk ini telah dipersembahkan sebagai harta antaran. Mereka telah berdiam dikaki Gunung Kelam (Bukit Kelam-Sintang). Mereka telah berkembang biak, membentuk satu suku yang disebut Suku LEBANG NADO. Mereka membawa bibit-bibit tanaman seperti cabe, lada dll.

Keahlian menenunpun masih tetap dikerjakan hingga sekarang ini. Mereka pandai menenun kain seperti sumbu lampu, dijadikan pakaian kebaya tahan dipakai untuk bekerja tani.

Patih Logender meninggalkan sebuah keris, yang disebut keris Mojopahit oleh penduduk local, dan sekeping tanah, disebut juga tanah Mojopahit. Sehelai kain cindai, disebut Gerising Wayang. Ukiran burung Garuda, tak beda dengan gambar burung Garuda lambing kebangaan bangsa Indonesia. Semuanya masih tersimpan dan diurus oleh Direktorat Kebudayaan Kabupaten Sintang. Kecuali keris Mojopahit yang bertatah intan, telah diambil Jepang dijaman Jayanya di Indonesia.

Disamping kraton Sintang, terdapat sebuah batu, berbentuk bulat panjang. Satu lambang kesuburan disebut batu “KUNDUR”

Sumber : Sejarah Kerajaan-Kerajaan Di Kalimantan Barat (1975)
www.ceritadatak.blogspot.com 
17.20 | 1 komentar | Read More